Meski hanya lulusan sekolah menengah atas, Arifdiarto Ambar Wirawan (35) atau yang akrab disapa Kelik berhasil menjadi pengusaha sukses. Usaha geplak dan peyek tumpuk yang sudah digelutinya selama 10 tahun ini mampu meraih omzet hingga Rp 60 juta per bulan.
Dengan margin 30 persen, Kelik bisa menyisakan keuntungan sekitar Rp 18 juta per bulan. Nilai yang luar biasa bagi pengusaha di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Meski sudah sukses, ia belum merasa puas. Penambahan cabang gerai baru di kota lain menjadi obsesinya ke depan.
Kelik membuka usaha geplak dan peyek tumpuk bersama istrinya, Sri Kasih (32), di Jalan Wahid Hasyim, Bantul. Toko berukuran 5 x 8 meter itu berdampingan dengan rumah tempat tinggalnya sekaligus lokasi produksi. Dulu, toko itu hanya berupa bangunan bambu, tetapi kini sudah berkembang menjadi bangunan permanen dengan desain lebih menarik.
Dalam sehari, Kelik membutuhkan sekitar 2,5 kuintal gula pasir untuk membuat geplak. Untuk peyek tumpuk, ia butuh sekitar 50 kilogram kacang dan 25 kilogram tepung beras per hari. Untuk membantunya berproduksi, ia mempekerjakan 20 tenaga kerja.
Apa istimewanya geplak buatan Kelik. Menurut dia, ia hanya menggunakan gula asli tanpa pemanis sehingga rasa manisnya lebih mantap. Tak heran jika geplak yang dijual seharga Rp 16.000 per kilogram itu laris manis. ”Kalau bentuknya hampir sama produk milik orang lain, tetapi dari segi rasa, konsumen bisa membedakannya,” katanya.
Untuk membuat geplak, ia memakai kelapa, gula, dan aroma sesuai selera. Proses pembuatan geplak diawali dengan pemarutan kelapa lalu santannya ditempatkan di kuali dan dicampur dengan gula kemudian diaduk. Setelah dinaikkan ke tungku sekitar 4 jam, lalu diturunkan dan diberi aroma, olahan itu kemudian dibentuk dan diangin-anginkan selama 10 menit.
Menurut Kelik, produknya yang dinilai istimewa adalah peyek tumpuk. Sesuai dengan namanya, peyek tersebut dibuat dengan cara menyusun sehingga membentuk rangkaian peyek. Berbeda dengan peyek pipih yang dimasak dengan satu kali penggorengan, peyek tumpuk digoreng selama tiga kali.
Pertama, penggorengan dimaksudkan untuk membuat susunan peyek. Setelah terbentuk susunan, peyek dipindahkan ke penggorengan kedua. Pada penggorengan pertama, nyala api harus kuat agar efek panasnya tinggi. Tujuannya supaya kacangnya bisa lekas matang. Di penggorengan kedua, nyala api justru lebih kecil karena tujuannya supaya peyek secara keseluruhan bisa matang. ”Kalau apinya terlalu besar, bisa gosong,” ujar bapak tiga anak ini.
Sebelum masuk ke penggorengan terakhir, peyek terlebih dahulu diangin-anginkan selama semalam. Tujuannya supaya peyek benar-benar renyah dan gurih. Peyek tersebut dijual seharga Rp 32.000 per kilogram. Untuk proses pengapian, ia memanfaatkan tempurung kelapa.
”Untuk membuat peyek dan geplak, dalam sehari saya butuh sekitar 750 butir kelapa. Kalau tempurungnya tidak saya manfaatkan kan sayang. Hitung-hitung, ongkos produksi bisa ditekan, apalagi harga gas dan minyak tanah sudah sangat mahal,” katanya.
Ide pembuatan peyek tumpuk sebenarnya berasal dari mertuanya yang kebetulan bernama Mbok Tumpuk. Sebagai menantu, Kelik berhasil meningkatkan usaha mertuanya dengan tetap mempertahankan nama Mbok Tumpuk sebagai identitas produknya.
Menurut Kelik, membuka usaha di bidang makanan awalnya tergolong susah. Karena belum dikenal masyarakat, biasanya penjualan masih minim. Kalau tidak kuat, si pengusaha bisa saja memutuskan untuk berhenti.
”Bagi saya, usaha butuh konsistensi. Meski awalnya tidak laku, saya harus terus berproduksi. Saya tidak boleh menyerah. Konsistensi juga faktor utama untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan,” paparnya.
Selain konsistensi, lanjut Kelik, faktor kejujuran juga memegang peranan penting. Kepada pembeli, ia selalu menginformasikan soal masa kedaluwarsa produknya. Kalau waktunya tinggal sedikit, ia menyarankan pembeli tidak mengambilnya, apalagi jika peyek atau geplak tersebut akan dibawa ke luar kota.
Kelik hanya menjual geplak dan peyeknya di toko sendiri. Ia sengaja tidak menitipkannya ke toko-toko lain meski banyak permintaan. Ia khawatir bila dititipkan, harga dan kualitas tidak bisa terkontrol. ”Bisa saja di toko lain produk kami dijual sangat mahal. Mereka juga bisa saja menjual produk kedaluwarsa. Kalau sudah begitu, citra kami pasti hancur,” katanya.
Ia berharap bisa membuka gerai sendiri di kota-kota besar. Dengan pengendalian sendiri, ia yakin usahanya bisa maju karena semuanya lebih terkontrol. Sampai sekarang saja, Kelik bersama istri masih terlibat langsung dalam proses peracikan bumbu. (bn)
Peyek dan Geplak yang Mendatangkan Uang
Raup Laba Berkat Kebab Buah
Untuk memulai berbisnis, dapat dilakukan kapan saja, bahkan saat masih muda sekalipun. Hal itulah yang lakukan oleh Riza Suwandira, mahasiswa tingkat akhir Institut Pertanian Bogor jurusan Statistika.
Idenya untuk berwirausaha berawal dari mengikuti lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada Februari 2012. Saat itu Riza bersama empat temannya menampilkan hasil kreasi kuliner mereka berupa kebab. Namun berbeda dari kebab pada umumnya yang berisi daging, Riza mengisi kulit kebab tersebut dengan potongan buah-buahan.
Ide untuk menggunakan buah sendiri karena ketersediaan buah-buahan dinilai sangat melimpah dan mudah didapatkan. Selain itu, pria kelahiran 17 Juli 1990 ini juga ingin mengangkat nilai dari buah-buahan lokal Indonesia serta memberdayakan petani buah lokal khususnya di wilayah Jawa Barat.
Setelah mengikuti lomba, dengan bermodalkan uang Rp 5 juta, Riza mulai menjual hasil kreasinya tersebut. Saat itu kebab buah hanya dibuat sebatas pesanan dari teman-teman di kampus atau delivery order. Pembuatannya pun dia lakukan tempat kost-nya.
Riza memberanikan diri untuk mulai membuka usaha sendirian karena memang sejak awal telah berniat untuk benar-benar mengembangkan usaha kebab tersebut. Dia menilai ada prospek yang bagus ke depannya, respons dari pembeli yang baik, serta ada dukungan dari kampusnya.
"Saya memutuskan untuk memulai usaha kebab buah ini sendirian karena teman-teman saya yang ikut program PKM waktu itu harus fokus pada kuliah, sedang saya sendiri memang sudah tingkat akhir kuliah, jadi bisa bagi waktu," ujarnya seperti dilansir Liputan6.com.
Melihat makin banyaknya pembeli dan semakin terbukanya peluang untuk berkembang, pada 20 Maret 2012, Riza membuka outlet kebab pertamanya di depan kampus yang diberi nama 'Kebab Buah Si Babah'.
Nama Babah sebenarnya diambil dari nama seorang pamannya, namun sekarang Babah sendiri lebih dikenal sebagai singkatan dari 'Kebab Buah'.
"Orang lebih kenalnya Kebab Buah. Dan waktu itu untuk buka outlet modal saya sekitar Rp 7 juta untuk membeli boots dan peralatan membuat kebab, bahan baku dan kemasan," kata mahasiswa yang tengah menunggu sidang skripsi ini.
Karena perkembangan yang semakin bagus, pada tanggal 10 Mei 2012, pria yang bercita-cita menjadi seorang sosiopreneur ini mulai membuka outlet ke dua di wilayah Sukabumi, yang juga merupakan kampung halamannya.
Outlet di Sukabumi ini ternyata menjadi yang paling laris di antara semua outlet, dengan omzet dalam sehari bisa mencapai Rp 2 juta atau rata-rata sekitar 400 porsi kebab habis terjual. Sedang untuk outlet lainnya rata-rata omzet sekitar Rp 300.000 hingga Rp 800.000.
Lama kelamaan, usahanya ini pun mulai dilirik oleh orang lain yang juga ingin berjualan kebab buah.
Riza pun mulai menawarkan kerjasama dengan sistem kemitraan dimana dia menawarkan paket seharga Rp 10 juta.
Dari modal tersebut, Riza menyediakan boots, bahan baku seperti kulit, buah dan toping, kemasan, peralatan masak, alat promosi, seragam, serta pelatihan untuk meracik kebab buah.
Untuk bahan-bahan yang dibutuhkan oleh seluruh outlet, Riza juga memasok sesuai dengan jadwal pengiriman yang telah ditentukan. Kecuali buah-buahan yang biasanya dibeli dari pasar atau penjual buah yang terdekat dari outlet, agar buah-buahan yang digunakan masih segar.
Buah-buahan yang dijadikan isi dari kebabnya pun beragam, seperti pisang, nanas, semangka, durian, alpukat, melon, nangka, mangga dan strawberry. Para pembeli dapat memilih isi dengan satu jenis buah saja atau bisa juga dicampur dengan harga yang relatif terjangkau, mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 15.000.
Cara pembuatan kebab ini terbilang cukup mudah. Buah yang ingin dijadikan isi kebab dipotong-potong. Kemudian bungkusnya menggunakan kulit kebab dan ditaburi pilihan toping seperti coklat, keju, susu, strawbery, pedas atau campuran dari semuanya. Kemudian kebab tersebut dibakar sebentar agar buah-buahan didalamnya tidak layu.
Untuk lebih memperkenalkan usahanya tersebut, Riza biasanya melakukan promosi dengan membagi-bagikan pin sambil menyebarkan brosur. Dia juga mengemas outlet dan pembungkus kebabnya dengan berwarna-warni yang mencolok untuk menarik perhatian calon pembeli.
Selain itu, pihak univesitas tempatnya menimba ilmu pun diakui Riza, sering memberikan dukungan dengan memesan kebabnya dalam jumlah banyak untuk kebutuhan sebuah acara sehingga dapat dijadikan ajang promosi.
Riza juga kerap mengalami kendala dalam usahanya tersebut, seperti masalah sumber daya manusia (SDM) yang masih menjadi hambatan sampai saat ini. Karena diakuinya sulit untuk mengontrol pegawai penjaga outlet sebab jarak outlet yang berjauhan. Selain itu, pemilihan lokasi outlet juga menjadi masalah karena akan sangat mempengaruhi omzet.
"Kadang ada lokasi yang ramai, tetapi tidak sedikit juga yang sepi, jadi harus pintar-pintar cari lokasi dan mengontrol pegawai," jelasnya.
Riza sendiri pernah harus menutup outlet kebab buahnya hingga tiga kali karena sedikitnya konsumen atau terbentur pada biaya sewa tempat yang mahal sehingga tidak seimbang dengan pemasukan yang diterima outlet tersebut.
Kini dalam sehari, rata-rata tiap outlet dapat menjual hingga 40 porsi, namun untuk outlet yang paling laku bisa menjual minimal 80 porsi. Kebab Buah Si Babah sendiri telah memiliki 17 outlet yang 8 diantaranya merupakan milik Riza.
Outlet-outlet tersebut tersebar di Bogor, Sukabumi, Depok, Cilegon, Bandung, Cilacap, Purwakarta, Semarang dan Yogyakarta. Riza juga telah memiliki 10 pegawai yang membantunya, baik dari segi managemen atau yang turun langsung ke lapangan.
Selain menjadi pemilik Kebab Buah Si Babah, Riza juga telah berpengalaman dalam bidang wirausaha sebelumnya. Dia pernah menjadi distributor Boneka Edukatif Horta, marketing manager usaha kue brownies Brownlish, manager di usaha percetakan Kaizen Printing dan masih banyak lagi.
Ke depannya, pria yang mengaku hobi berdagang ini masih ingin terus belajar untuk menyempurnakan sistem kemitraan yang telah dimulai. Tujuannya agar dapat meminimalisir tingkat kesalahan pada pengelolaan usaha kebab buahnya sehingga dapat meminimalisir ketidakpuasan dari konsumen.
"Saya juga ingin mendirikan sebuah kantor sendiri agar memiliki badan hukum dan juga dia terus mempelajari sistem freinchise-nya," tandasnya. (as)
Kisah Johan Yuniarto Jadi Juragan Abon
Menjadi seorang entrepreneur memang harus jeli dalam melihat peluang yang ada. Hal ini yang oleh Johan Yuniarto, pemilik dari usaha pembuatan abon ikan dengan merek dagang 'Rumah Abon'.
Sebelum merambah dunia usaha, Johan, begitu panggilan akrabnya, merupakan seorang pekerja kantoran. Namun melihat usianya yang sudah tidak muda lagi ditambah dengan kebutuhan keluarga yang terus meningkat dan tidak dapat tertutupi dari gajinya, maka dia pun berinisiatif untuk membuka usaha pembuatan abon ikan ini.
Dengan modal uang Rp 4 juta, pada April 2009 secara resmi dia mulai memproduksi abon ikan miliknya. Produk abon ini terbilang cukup unik karena selama ini abon umumnya terbuat dari olahan daging, namun Johan mencoba sesuatu yang berbeda dengan memanfaatkan ikan sebagai bahan utama pembuatan abonnya.
Niatnya untuk merintis usaha pembuatan abon ikan sendiri sudah ada sejak lama, karena di kota asalnya, Bandung, Jawa Barat, menurutnya sampai saat ini belum ada usaha kecil menengah (UKM) yang memproduksi abon semacam ini.
"Saya survei ke supermarket di Bandung jarang ditemukan abon ikan seperti ini. Kalau pun ada, paling hanya sedikit dan itu pun produksinya di luar Bandung, seperti dari Cirebon dan Subang, tetapi hanya sebatas abon nila saja, belum banyak variasi," ujar dia seperti dilansir Liputan6.com.
Menurut dia, penyebab mengapa jarang ada UKM yang mengangkat produk abon semacam ini karena proses pembuatan yang rumit dan sulit. Proses pembuatan ini meliputi pemilihan ikan yang baik, pembersihan terutama dari kotorannya serta yang paling sulit dan memakan waktu lama yaitu memisahkan daging dengan tulang.
"Apalagi belut, kalau memasaknya tidak sempurna maka dagingnya akan keras, tapi kalau terlalu matang jadi lembek. Belut itu yang paling sulit," jelasnya.
Alasannya untuk memilih membuka usaha pembuatan abon ikan ini karena menurutnya selama ini kebanyakan orang tua kesulitan untuk memberikan asupan makanan berupa ikan bagi anak-anaknya. Terutama yang di bawah umur 10 tahun karena bau ikan yang amis dan banyak tulang, sehingga tidak disukai oleh sebagian besar anak-anak.
Padahal ikan sendiri merupakan salah satu sumber protein terbaik yang diperlukan oleh anak-anak pada usia pertumbuhan. "Makanya saya coba, agar bisa jadi solusi bagi para orang tua untuk mengatasi asupan protein itu tadi," lanjutnya.
Ada sepuluh macam abon yang dia produksi dan diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu abon ikan laut dan ikan air tawar. Untuk abon ikan laut seperti abon hiu, abon tuna, abon kakap, abon salem dan abon kerapu.
Sedangkan abon ikan air tawar antara lain abon nila, abon gurame, abon gabus, abon lele, dan abon belut. Semua jenis abon ini, masing-masing memiliki tiga rasa yaitu manis, gurih, dan pedas.
Untuk resep membuat abon, Johan mengaku hanya belajar secara otodidak dengan masa trial and error sekitar 3 bulan. Setelah itu, dia baru menemukan bagaimana teknik memasak, resep dan komposisi bahan baku yang pas.
"Jadi saya terus melakukan uji coba, abon yang sudah jadi saya bagikan ke teman dan saudara untuk meminta penilaian mereka, dimana letak kekurangannya," ujar pria yang kini telah berusia 53 tahun tersebut.
Untuk pasokan ikan air tawar, Johan biasa membeli dari daerah sekitar kota Bandung, sedang untuk ikan laut, dia datangkan dari wilayah Pangandaran, Cirebon, Indramayu, dan sekitar pesisir Pulau Jawa. Dalam sekali memasok, biasanya berkisar 50 kg dan tergantung ikan mana yang habis lebih cepat.
Dia mengatakan, saat ini yang paling sulit dicari untuk ikan air tawar yaitu belut karena mengikuti panen disawah, sedang untuk ikan laut, hiu karena bergantung pada cuaca dan kondsi laut. Jika tersedia pun, terkadang juga terkendala pada harga yang tinggi. Bahkan dirinya pernah hingga berhenti produksi karena stok ikan yang dibutuhkan tidak ada.
"Kalau yang lain, pasokannya selalu lancar. Kita memasok tergantung mana ikan yang habis saja, tidak semuanya sekaligus," ujarnya.
Selain masalah ketersediaan bahan baku, pada awal hingga pertengahan tahun, biasanya usahanya tersebut juga mengalami penurunan permintaan. Hal itu disebabkan karena kebanyakan orang khususnya para orang tua sedang fokus mempersiapkan biaya sekolah anaknya pada masa tahun ajaran baru.
Namun permintaannya perlahan naik setelah pertengahan tahun hingga menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri. Pada kedua momen ini permintaan akan abon mencapai titik tertinggi.
"Kalau pas bulan puasa biasanya permintaan tinggi. Abon kan bisa dimakan ketika sahur, karena kan praktis dan tidak cepat basi, jadi bisa disimpan," katanya.
Untuk pendistribusian, Rumah Abon milik Johan ini telah memasok ke beberapa wilayah seperti Jakarta, Bogor, Surabaya dan Lampung dalam bentuk re-saler, penjualan secara langsung atau ke dipasok ke toko oleh-oleh dibeberapa obyek wisata dengan sistem pembayaran secara langsung.
"Jadi mereka pesan barangnya, uangnya ditransfer, baru kita kirim barangnya. Kita juga memperbolehkan penukaran barang bila ada abon jenis apa yang sulit terjual, maka bisa ditukar dengan jenis lagi yang lebih cepat terjual. Karena abon ini sendiri kan bisa bertahan hingga 8 bulan," jelasnya.
Dia juga mengaku pernah ditawarkan untuk mendistribusikan abonnya tersebut ke pasar modern seperti supermarket, namun untuk saat ini masih dia tolak karena sistem pembayaran yang dirasa tidak sesuai.
"Kita diminta untuk memasok barang dulu, kemudian baru dibayar 45 hari kemudian. Sedangkan kita kan butuh uangnya untuk membeli bahan baku lagi agar terus bisa produksi," tuturnya.
Dalam sebulan, usahanya ini mampu menghasilkan 1 kuintal abon atau sekitar 1.000 box kemasan. Untuk satu box abon ikan ini dibanderol seharga Rp25.000. Kini omset Rumah Abon sendiri telah mencapai Rp25juta per bulan dan Johan telah memiliki 2 orang karyawan, serta ditambah anggota keluarga yang juga turut membantu dalam proses pembuatan abon ini.
Untuk jenis abon yang paling banyak diminati sendiri yaitu abon hiu, abon tuna, abon gurame dan abon belut. Pemasaran yang dilakukan sampai saat ini hanya sekedar pembincangan dari mulut ke mulut konsumen serta melalui pameran.
Agar terus meningkatkan penjualan, ke depannya Johan telah mempersiapkan satu inovasi abon terbarnya yaitu produk abon kremes yang merupakan perpaduan antara abon dengan irisan kentang halus yang digoreng hingga kering.
Rencana produk barunya ini akan dimulai diperkenalkan pada moment Pekan Raya Jakarta (PRJ) bulan Juni mendatang. (as)
Rahasia Sukses Donat Kentang P-DO
Donat merupakan salah satu jenis roti yang cukup digemari masyarakat Indonesia. Tak ayal, banyak pebisnis yang terjun dalam bisnis ini. Salah satu yang sukses mengeluti bisnis donat ialah Donat Kentang P-DO. Simak wawancara CiputraEntrepreneurship dengan Riko dari Donat Kentang P-DO mengenai kiat sukses berbisnis donat.
1. Kapan Donat Kentang P-DO didirikan dan ide apa yang mendasarinya?
Donat Kentang P-DO didirikan pada tahun 2007. Ide yang mendasari adalah untuk menjual donat dengan rasa yang enak namun harganya terjangkau. Selain itu, kami juga ingin membuka lapangan kerja baru.
2. Keunikan dan atau keunggulan apa saja yang ditawarkan Donat Kentang P-DO?
Keunikan Donat Kentang P-DO ialah konsumen bisa melihat cara pembuatan donat tersebut mulai pencampuran adonan sampai menggoreng. Keunggulan kami lainnya ialah adanya gula tabur aneka rasa seperti coklat, strawberry, melon, orange, mocca, plain, dan sebagainya.
3. Kendala apa saja yang ditemui dalam mengembangkan Donat Kentang P-DO dan bagaimana mengatasinya?
Kendala yang ditemui adalah harga sewa counter di mall yg tinggi karena sudah diambil alih oleh para broker yang menamakan diri sebagai EO. Kami mengantisipasinya dengan mencari lokasi sewa di mall yang masih ditangani oleh manajemen mall yang pasti harganya lebih terjangkau.
4. Siapa saja yang jadi segmen pasar Donat Kentang P-DO?
Segmen pasar kami ialah semua jenis kelamin di semua usia. Kami yakin, semua orang pasti akan menyukai donat. Apalagi rasa donat yang khas dan sangat enak membuat orang tidak cukup hanya mengkonsumsi satu biji.
5. Metode promosi apa saja yang telah Donat Kentang P-DO diterapkan?
Metode promosi yangg dilakukan selain memiliki website dan pasang iklan di beberapa website yang berhubungan dengan waralaba. Kami juga mengikuti event internasional franchise serta pameran peluang usaha/peluang bisnis.
6. Berapa pendapatan Donat Kentang P-DO per bulannya? Apa saja target ke depannya?
Pendapatan per bulan untuk outlet para mitra berkisar Rp 9 juta hingga Rp 20 juta. Target ke depannya, kami mendapatkan mitra-mitra baru sebanyak 200 mitra.
Donat Kentang P-DO
Pulo Gadung Trade Centre PTC
Kawasan Industri Pulo Gadung
Jakarta Timur
Telp : 021-32244412
HP : 081 807 800 808
Gagal Jadi Arsitek, Kini Jadi Juragan Steik
Dalam 15 tahun terakhir, Jody Brotosuseno sudah mencoba berbagai usaha. Peruntungan berbuah di usaha kuliner dengan merek dagang Waroeng Steak and Shake. Kini, ia punya 50 gerai Waroeng Steak and Shake di sejumlah kota.
Ia juga memiliki belasan gerai untuk unit usaha lainnya. Paling sedikit 1.000 pekerja mendapatkan kegiatan sekaligus penghasilan dari seluruh unit usahanya.
Pencapaiannya hari ini tentu tidak diraih dalam semalam. Bersama istrinya, Siti Handayani alias Aniek, Jody berkali-kali merasakan jatuh bangun berbisnis. Hal itu bukan hal mudah karena modal mereka terbatas dan belum ada investor pada awal membangun usaha.
Memang banyak orang pada awalnya tidak akan percaya Jody bekerja keras membangun bisnis. Hal itu tidak lepas dari latar belakang keluarganya, pemilik jaringan restoran Obonk Steak and Ribs.
Meski ayahnya, Sugondo, pemilik jaringan restoran yang punya lebih dari 60 gerai itu, Jody tidak mendapat perlakuan istimewa. Ia menerima gaji sebagai pegawai biasa di jaringan restoran tersebut. Apalagi Jody bertekad mandiri sejak menikahi Aniek pada 1998.
Dengan gaji itu, Jody dan Aniek tahu mereka butuh pendapatan lebih baik. Dengan ijazah terakhir setingkat SMA, sangat sulit mendapat peluang kerja jika harus melamar ke tempat lain. Jody dan Aniek akhirnya membulatkan tekad menjadi pebisnis. Agar bisa fokus, mereka sepakat meninggalkan bangku kuliah. Jody meninggalkan pendidikannya pada Jurusan Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pada semester delapan.
Sambil bekerja di Obonk, Jody mencoba berjualan aneka makanan. Awalnya berjualan susu segar, lalu roti bakar dan jus buah. Namun, bisnis itu terpaksa berhenti karena peralatannya banyak diambil orang.
Jody juga berjualan kaus partai politik. Pada Pemilu 1999, jumlah partai membengkak dari tiga menjadi 48 partai. Jody melihat peluang itu dan memanfaatkan dengan berjualan kaus berlambang partai politik. Hasil penjualan, antara lain, digunakan untuk mengontrak rumah di kawasan Demangan, Yogyakarta.
Selepas pemilu, Jody dan Aniek berpikir lagi mencari tambahan. Kelahiran anak pertama, Yuga Adiaksa, membuat kebutuhan bertambah. Akhirnya pasangan itu memutuskan berjualan steik, seperti yang sudah dilakukan keluarga Jody. Namun, pasangan itu tidak meniru konsep Obonk Steak.
Mereka memilih mahasiswa dan pelajar sebagai target pasar. Untuk merek usaha, mereka memilih nama Waroeng Steak and Shake. Gerai pertama dibuka di teras rumah mereka karena tidak ada dana untuk menyewa tempat. ”Saya pilih istilah warung untuk menegaskan pesan makan steik di sini tidak mahal,” ujar Jody seperti dilansir Harian Kompas.
Namun, mereka terbentur modal untuk memulai usaha. Kala itu, Jody dan Aniek hanya punya uang Rp 100.000. Akhirnya, Jody menjual motor dan hasilnya dipakai untuk modal awal Waroeng Steak. Ketika baru mulai, Jody mengurus dapur dan melayani pembeli, sementara Aniek menjadi kasir. Namun, warung itu tidak langsung ramai. ”Pernah sehari cuma dapat bersih Rp 30.000,” ujarnya.
Pembeli masih sepi, antara lain karena warung itu belum terkenal. Selain itu, masyarakat juga masih menganggap steik makanan mahal. ”Pembeli memberi masukan agar warung saya lebih disukai. Saya dengar masukan mereka,” ujarnya.
Jody membuat spanduk besar dengan warna mencolok di depan gerainya. Di spanduk dicantumkan harga steik yang murah. Ia juga mempromosikan warungnya lewat selebaran. Tidak butuh lama, warung Jody mulai ramai pembeli dari kalangan mahasiswa dan pelajar. ”Malah kami mulai kewalahan,” ujarnya.
Kala itu, Waroeng Steak and Shake baru punya 10 hotplate dan lima meja. Saat ramai, tak jarang pembeli terpaksa menunggu meja kosong. Bahkan, Jody beberapa kali terpaksa mengambil hotplate setelah pembeli selesai makan tetapi masih duduk di meja. Sebab, hotplate akan dipakai untuk memenuhi pesanan pembeli lain.
Pelan-pelan, Jody menambah peralatan. Ia juga merekrut pegawai untuk melayani pembeli yang semakin banyak. ”Setahun sejak buka di Demangan, kami membuka satu cabang lagi,” ujarnya.
Untuk pembukaan gerai kedua, Jody mengajak kerabat dan temannya menanam modal dengan pola bagi hasil. Pola itu dipakainya sampai gerai kedelapan. Di gerai kesembilan dan seterusnya, Jody mendanai sendiri. ”Asal bisa menyesuaikan inovasi dengan kebutuhan pasar, bisa berkembang terus. Masukan pelanggan selalu kami perhatikan,” tuturnya.
Masukan pembeli tetap diandalkan dalam pertimbangan pengembangan usaha. Menu-menu baru dihadirkan untuk menyesuaikan permintaan pelanggan. Meski bermerek Waroeng Steak and Shake, gerai-gerai Jody juga menyediakan menu dengan bahan utama nasi. Padahal, steik biasanya disantap dengan kentang goreng.
Saat Waroeng Steak and Shake semakin berkembang, Jody kembali membuat keputusan untuk berkonsentrasi penuh. Ia tinggalkan Obonk agar bisa sepenuhnya mengurus Waroeng Steak and Shake. Sejak 2002, ia fokus mengembangkan Waroeng Steak and Shake yang terus menambah gerai.
Konsentrasinya membawa hasil menggembirakan. Kini, ia mengelola 50 gerai Waroeng Steak and Shake di sejumlah kota. Ia juga membuka gerai aneka makanan dengan bendera Festival Kuliner. Bisnis kulinernya dilengkapi dengan Waroeng Penyetan dan Bebaqaran serta delapan gerai waralaba merek lain. Ia juga merambah bisnis olahraga dengan membuka arena futsal.
Meski yakin pasar Indonesia masih terbuka sangat luas, Jody sudah mulai mempersiapkan ekspansi ke luar negeri. Untuk pasar luar negeri, Waroeng Group akan menggunakan pola waralaba. ”Untuk pengembangan pasar Indonesia, kami berusaha dikelola sendiri dengan dana sendiri,” ungkapnya.
Wajar ia yakin bisa mendanai sendiri pembukaan gerai baru. Dalam salah satu kuliah umum di Yogyakarta terungkap, salah satu gerainya di Yogyakarta beromzet rata-rata Rp 500 juta per bulan. Padahal, ia mengoperasikan puluhan gerai.
Namun, tidak semua dinikmati sendiri oleh Jody. Salah satu gerainya di kawasan Gejayan, Yogyakarta, didedikasikan untuk kegiatan amal. Seluruh keuntungan dari gerai itu dipakai untuk mendanai Rumah Tahfidz, pesantren penghafal Al Quran dengan santri hampir 2.000 orang. Selain dari gerai itu, Jody juga menyumbangkan sebagian keuntungan dari unit usaha lainnya untuk mendanai tujuh Rumah Tahfidz yang dikelolanya. ”Saya dibantu teman-teman, tidak menanggung sendiri,” ujarnya merendah.
Jody memang selalu tampak bersahaja dan merendah. Jika bertemu sepintas, sama sekali tidak terlihat sosok orang muda pemilik bisnis beromzet puluhan miliar rupiah per bulan. Bisnis yang dibangun dengan kerja keras sendiri, bukan warisan. Kerja keras dalam 12 tahun mengantarnya dari pemuda yang batal jadi arsitek tetapi menjadi raja steik. (as)
Puspo Wardoyo, Semua Berawal dari Inspirasi
Puspo Wardoyo, merintis waralaba Ayam Bakar Wong Solo hingga menjadi sebesar sekarang ini dari titik paling bawah. Ia pernah menjajakan ayam bakar di kaki lima. Sejak kecil Puspo sudah terbiasa berurusan dengan ayam. Orangtuanya penjaja ayam. Pagi hari, Puspo kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar.
Begitulah setiap hari. Siang sampai malam, ia membantu orangtuanya menjajakan menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar, dan menu ayam lainnya di warung milik orangtuanya di dekat kampus UNS Solo.
Impian itu sendiri terinpirasi oleh cerita seorang pedagang bakso yang sukses mengarungi hidup di Medan. Ketika pria kelahiran 30 November 1957 itu tengah merintis usaha warung lesehan di Solo selepas mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil, suatu saat pedagang bakso asal Solo tersebut bertandang ke tempat Puspo.
Dia bercerita bahwa peluang usaha warung makan di Medan sangat bagus. Pedagang bakso itu telah membuktikannya. Dalam sehari ia bisa meraup keuntungan bersih di akhir tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000. Dari keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong itulah teman Puspo ini bisa pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan.
"Dengan uang, jarak antara Solo Medan lebih dekat dibanding Solo Semarang, " kata Puspoyo menirukan ucapan temannya tadi.
Wajar saja jika dengan pesawat terbang waktu tempuh antara Medan-Solo, berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Sementara dengan naik bis jarak antara Solo-Semarang ditempuh sekitar empat jam.
Cerita sukses temannya itu begitu membekas di benak Puspo.
"Saya bertekad bulat akan merantau ke Medan, " pikirnya. Untuk mewujudkan keinginannya itu, apa boleh buat, warung makan yang termasuk perintis warung lesehan di kota pusat kebudayaan Jawa itu pun ia jual kepada temannya. Uang hasil penjualan yang tak seberapa itu ia manfaatkan untuk membeli tiket bus ke Jakarta. Mengapa Jakarta? "Karena dengan uang yang saya miliki, bekal saya belum cukup untuk merantau ke Medan, " katanya. (bn)
Sutarto, Sukses Pasarkan Keripik Belut Hingga Mancanegara
Siapa sangka keripik belut disukai orang mancanegara? Namun itulah kenyataan yang diungkapkan Sutarto, pengusaha keripik belut warga Sanggrahan, Kalurahan Joho, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sesuai dengan kesepakatan pembeli asal Australia, setiap bulan dirinya harus mengirimkan 1 kontainer keripik. Jika 1 kontainer berisi keripik 1 ton, setiap hari dia harus memproduksi 226 kg. Padahal, saat ini usahanya hanya mampu memproduksi 100 kg. ''Ini memang tantangan berat bagi kami. Tetapi bagaimanapun bertekad memenuhi pesanan itu,'' ujarnya.
Dia mengaku merintis usaha keripik belut karena coba-coba. Semula karyawan Kecamatan Sukoharjo itu merintis bisnis jual beli mobil. Namun usahanya menurun seiring dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bahkan akhirnya dia memilih menutup usahanya karena rugi.
Setelah vakum beberapa saat, ayah Pratama Agung Nugroho dan Primawan Dwi Nugroho ini mencoba menekuni penjualan belut segar. Alasannya, dia melihat banyak pencari belut di Sukoharjo yang kesulitan dalam hal pemasaran. Lalu dia menampung belut-belut tersebut dan menjualnya kembali kepada para perajin keripik.
Setiap hari dia bisa memasok ratusan kilogram belut kepada para perajin keripik belut di Sukoharjo, Klaten, Yogya, hingga Tasikmalaya. Meskipun semula lancar, usahanya menghadapi kendala cukup besar. Pesanan rutin yang diharapkan selalu datang ternyata terkadang lowong. ''Akibatnya, saya menanggung kerugian cukup besar. Bagaimana tidak, sekitar 1,5 kuintal belut segar tak bisa dipasarkan,'' seperti dikutip dari Suara Merdeka.
Cobaan tersebut toh tidak membuatnya patah semangat. Malah sebaliknya, muncul keinginan untuk menggoreng belut yang masih ada. Saat itu juga dia belajar cara membuat keripik belut kepada tetangganya yang menjadi perajin keripik belut.
Sampai di rumah, dia segera mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya. Setelah matang, dicobanya untuk mengetes rasa keripik tersebut. Merasa belum puas, kembali dia menggoreng dengan tambahan bumbu sendiri. ''Ternyata rasanya enak, sehingga resepnya saya gunakan hingga sekarang.''
Dengan semangat tinggi, keripik produknya dipasarkan kepada beberapa bakul. Beberapa hari kemudian setelah dicek, keripik belut buatannya laku keras. Bahkan para bakul minta tambahan pasokan. Hal ini membuatnya makin optimistis dalam menjalani profesi baru.
''Apalagi ketika beberapa swalayan besar di Solo, Yogya, dan Jakarta meminta untuk memasok keripik belut buatan saya. Saya makin optimistis.''
Sukses merambah swalayan, Sutarto pun melirik pasar antarpulau. Perlahan namun pasti, usaha yang dikelola sejak 1,5 tahun lalu terus berkembang. Keripik buatannya mampu menembus pasar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Dia kemudian merekrut tenaga khusus di bidang pemasaran, penggorengan, dan pemilihan bahan baku. ''Untuk melayani pesanan, saya mempekerjakan 10 karyawan yang dibayar di atas UMR.''
Usahanya makin melejit ketika datang pesanan dari Australia. Di sisi lain, dirinya juga menghadapi tantangan sangat besar, karena harus mampu menjaga mutu dan kualitas, sekaligus menjaga konsistensi pemasokan sesuai kesepakatan dengan pembeli.
Kunci untuk menghasilkan keripik yang enak, harus dipilih belut tangkapan di sawah. Bukan sebaliknya, menggunakan belut hasil budi daya yang menggunakan pakan yang mengandung bahan kimia. Uniknya, meski omzetnya mencapai puluhan juta rupiah setiap hari, dia enggan berhubungan dengan bank.
''Semua masih saya cukupi dengan modal sendiri. Namun entah nanti kalau kekurangan modal, mungkin saya terpaksa pinjam bank,'' katanya. (as)
Dari Kalkun, Suparjo Bisa Raih Untung
Pada awalnya, Suparjo hanya iseng memelihara sepasang kalkun sebagaimana entok dan ayam yang dibiarkan berkeliaran begitu saja di lahan sekitar kolam. Namun melihat hasil penjualan kalkun yang lumayan, Suparjo mulai memikirkan bagaimana agar telur-telur kalkun menetas semua dan menekan risiko kematian saat pembesaran. Sebelumnya, dari rata-rata 15 ekor telur yang dihasilkan, rata-rata hanya 3 ekor saja yang berhasil tumbuh hingga dewasa.
Dengan ketekunannya, mulailah bereksperimen mencari solusi bagaimana memaksimalkan penetasan pembesaran kalkun tersebut. Sampai akhirnya setelah sekitar 3 kali ujicoba dan pengamatan pakan, model kandang sampai dengan pemberian vaksin, Suparjo akhirnya menemukan formula yang pas untuk budidaya kalkun. Dengan formula tersebut Suparjo bisa meminimalkan risiko kematian pembesaran kalkun-kalkunnya. Apalagi setelah melihat hasil dari penjualan kalkun ini yang lumayan, kini Suparjo mulai memaksimalkan lahan dan kandang yang ia miliki untuk memelihara kalkun.
2 bulan sudah balik modal
Kalkun dewasa yang sudah siap berkembang biak berusia sekitar 7 sampai 8 bulan. Menurut Suparjo, bukannya ingin meremehkan ternak sapi atau ternak ayam, ia melihat lebih menguntungkan memelihara kalkun daripada jenis ternak lainnya. Alasannya anakan kalkun yang dipelihara dan dibesarkan dalam jangka 1½ bulan bisa dijual dengan harga pasaran minimal 100 ribu per ekor. Sementara pemeliharaan pada rentang usia tersebut belum begitu membutuhkan pakan yang banyak sehingga keuntungan lebih berlipat ganda. Keuntungan ini tentu saja tidak semudah saat melipat uang dalam kantong. Berbekal pengalaman Suparjo soal pemberian pakan, pemeliharaan suhu kandang dan kontrol terhadap penyakit adalah kunci.
Jika kalkun ini terkenal sebagai konsumsi orang-orang barat, dalam acara thanksgiving misalnya, ternyata berimbas di perternakan kalkun Supardi. Anak keduanya yang pernah bekerja di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta sering mengantarkan tamu-tamu asing ke peternakan Supardi. Lambat laun dari pihak hotel sendiri sudah mempunyai pemandu-pemandu yang mempromosikan dan menjadikan peternakan kalkun Suparjo sebagai paket wisata. Tentunya jadi rejeki nomplok bagi kedua belah pihak. Di pihak pertama Suparjo sebagai pemilik peternakan diuntungkan dengan penjualan kalkun dengan harga lebih dari biasanya oleh tamu-tamu asing tersebut. Seekor kalkun bisa dibeli 1 juta dari tangan tamu asing tersebut. Sedangkan di pihak lain, para pemandu menjual paket wisata agro ke peternakan kalkun ke tamu-tamu asing tersebut. Suparjo mengaku tak pernah turut campur ke pemandu soal berapa harga sebenarnya yang ditawarkan oleh pemandu kepada tamu-tamu asing tersebut karena terpenting buatnya dengan diatas harga rata-rata saja untung sudah berlimpah.
Pernah ketika populasi kalkun dewasa Suparjo mencapai 200 ekor lebih halaman rumahnya sangat ramai dengan suara kalkun. Para tamu bisa menyaksikan langsung kalkun-kalkun tersebut yang dibiarkan berkeliaran, memberi pakan dan memilih sendiri kalkun yang akan dibeli.
Baru 1 minggu sudah ada yang menawar
Saat ini Suparjo merasa kewalahan dengan pesanan anakan kalkun. Baru berusia 1 minggu telur-telur kalkun tersebut menetas sudah ada yang berani menawar sampai dengan 35ribu per ekor. Banyak tamu-tamu dari dalam maupun luar kota yang jauh hari memesan anakan kalkun. Guna mengatasi hal tersebut Suparjo mulai menggarap plasma. Ia mempunyai beberapa plasma yang siap untuk mensuplai pesananan anakan kalkun. Tetapi kendala terbesar plasma-plasma tersebut kebanyakan masih belum bisa secara seteliti Suparjo dalam perawatan. Suparjo masih terus memantau dan mengkonsultasi plasma-plasma tersebut. Kebanyakan keluhan plasma tersebut soal tidak anakan-anakan kalkun yang kurang sehat.
Suparjo mengaku bila mengikuti pasaran lokal lebih menguntungkan menjual anakan-anakan kalkun usia dari Anakan kalkun usia 3 sampai 4 bulan daripada menjual kalkun dewasa. Sebab anakan kalkun usia 3 sampai 4 bulan saja sudah bisa laku terjual sampai 100ribu. Sementara dengan usia pembesaran segitu pemberian pakan tidak terlaku banyak bila dibandingkan kalkun dewasa. Sehingga keuntungannya lebih berlipat. Kadangkala ada yang sudah memesan dulu jauh sebelumnya. Untuk anakan kalkun yang baru netas ia berani jual 20 ribu sampai dengan 25 ribu per ekor.
Biarkan si itik entok pemalas jadi juru tetas
Suparjo memiliki 1 unit mesin tetas untuk menetaskan telur-telur kalkun peliharaannya. Namun karena di daerahnya sering terjadi ganguan listrik Sehingga justru menimbulkan resiko gagal tetas. Sehingga Suparjo lebih memprioritaskan metode penetasan alami lewat si entok. Suparjo memelihara beberapa ekor entok dan membiarkannya mengerami telur-telur kalkun. Teknisnya sederhana, telur-telur kalkun yang dihasilkan dipindah di kandang pengeraman si induk entok yang juga baru mengeram. Lama pengeraman tersebut sama, yakni 28 hari. Bahkan Suparjo menemukan ada beberapa jenis entok betina yang getol mengeram sampai kuat mengeram 2 kali. Si entok yang getol mengeram ini tentu saja jadi andalan Suparjo. Tinggal memberikan pakan di dekat tempat si entok mengeram dan biarkan si entok bekerja lagi mengerami telur untuk kedua kalinya.
Setelah menetas, baik itu dari tempat pengeraman si entok maupun dari mesin tetas, Suparjo menaruh anakan-anakan kalkun tersebut dalam kotak kandang tertutup. Selama 10 hari, kondisi kandang dibiarkan hangat dengan lampu bohlam 15 watt. Tak ada yang istimewa dari kandang ini selain kandang bambu dengan penutup dari kardus untuk menjaga suhu hangat. Bila pagi, Suparjo mengontrol anakan-anakan kalkun tersebut, memberi pakan dan terkadang menjemur mereka di bawah sinar matahari pagi.
Membuat Penangkaran Kalkun
Sampai saat ini rekor populasi terbanyak ternak kalkun Suparjo mencapai 500 ekor. Kedepannya Suparjo berencana membangun pagar tertutup di areal lahan seluas 1000 meter miliknya sebagai tempat kalkun-kalkun tersebut berkeliaran.
“Kalau tidak dikelilingi pagar takutnya nanti kalkunnya pada makan tanaman milik tetangga” sergah Suparjo pada Trans Agro.
Kalkun memang terkenal rakus pada sayuran segar. Suparjo secara rutin, pagi dan sore mencacah sawi dan kangkung sebagai pakan kalkun-kalkun tersebut. Di areal kandangnya kini Suparjo menerapkan pola 5 : 1 untuk indukan kalkun. Artinya 5 kalkun betina berbanting 1 kalkun jantan yang siap untuk mengawini. Bisa juga dengan model kandang diterapkan 12 ekor kalkun betina disbanding 2 ekor kalkun jantan. Tetapi untuk 2 seperti itu kalkun jantan harus berbeda usia. Karena menurut pengalaman Suparjo bila sang kalkun jantan sama-sama usianya, akan saling berkelahi.
“Pokoknya kalkun-kalkun tersebut saya tempatkan kandang bersekat-sekat, saya amati sampai seberapa banyak jumlah kalkun merasa nyaman” ujar Suparjo.
Model pemeliharaanya semi liar. Kala siang hari kalkun ia biarkan berkeliaran di lahan. Namun perlu diawasi, karena kerakusan kalkun bisa memakan dan merusak sayur-sayuran yang ditanam oleh tetangga. Sedangkan bila sudah petang, kalkun tersebut dikandangkan dalam kandang ukuran 4 x 12 meter dan disekat-sekat menjadi 3 bagian. Tiap sekat berisi 12 sampai dengan 15 ekor kalkun dewasa. Sedangkan untuk anakan-anakan kalkun, karena memerlukan perlakuan khusus dalam suhu dan pakan Suparjo membuat kandang bambu berukuran 1 x 0,5 meter di halaman rumahnya sehingga bisa dengan mudah tiap saat untuk memantau. (bn)
Kisah H Bustaman Kembangkan RM Padang Sederhana
Inilah kisah sukses H Bustaman dalam membangun bisnis waralaba Rumah Makan Padang Sederhana. Lahir dan dibesarkan di Lubuk Jantan, Lintau Buo, Kabupaten Tanahdatar, Bustaman remaja memutuskan untuk merantau ke Jambi pada 1955.
Bagi masyarakat Minang, pergi keluar dari kampung kelahirannya sudah menjadi tradisi. Di Jambi, Bustaman yang hanya lulusan kelas dua Sekolah Rakyat (setara SD) mengadu nasib dengan bekerja apa saja. Mulai dari bekerja di kebun karet, menjual koran, mencuci piring di sebuah rumah makan hingga menjadi pedagang asongan.
Pada 1970, Bustaman rupanya tertantang mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Padahal, ia baru saja dua tahun menikah dengan Fatimah dan dikaruniai seorang anak. “Saya ikut dengan adik ipar di daerah Matraman, Jakarta Pusat,” tutur Bustaman dilansir readersdigest.co.id.
Pilihan saat itu adalah berdagang rokok dengan menggunakan gerobak di pinggir jalan.
Sebuah peristiwa yang melibatkan perseteruan antara etnis Minang dengan preman setempat pada 1975, membuat Bustaman terpaksa menyelamatkan diri dan keluarganya ke wilayah Pejompongan. ”Pokoknya akibat peristiwa tersebut, kami suku Minang terancam keselamatannya,” tutur Bustaman.
Di Pejompongan, Bustaman tetap membuka warung rokok selama 24 jam dengan penghasilan harian sebesar Rp2.000. “Padahal waktu di Matraman penghasilan saya bisa Rp8.000,” katanya.
Kondisi tersebut membuat Bustaman berpikir untuk mencari penghasilan tambahan dengan berjualan makanan. Ia lalu mencari lahan pinggir jalan di daerah Bendungan Hilir. “Saya menyewa lapak seluas satu kali satu meter di pinggir jalan seharga Rp3.000. Masalahnya, saya tidak bisa memasak, tetapi berbekal pengalaman pernah bekerja di rumah makan, saya belajar,” katanya.
Di hari pertama, dagangannya hanya menghasilkan omzet Rp425 dari modal awal sebesar Rp13.000. “Saya juga mengutang beras, minyak dan beberapa kebutuhan lain kepada tetangga. Sialnya, hasil dagangan itu ludes dibawa lari pembantu baru kami,” katanya.
Peristiwa itu tidak lekas membuat Bustaman putus asa. Ia tetap menjalankan usaha warung kecilnya. Satu minggu kemudian ia berkenalan dengan pedagang masakan lain asal Solok, Sumatra, yang membuka warung di Bendungan Hilir. “Saya coba masakannya ternyata enak. Saya lalu memberanikan diri berkenalan dengan pemasaknya dan meminta resep masakan,” katanya.
Dengan menu baru tersebut, warung kecil Bustaman semakin kedatangan banyak pelanggan. “Cobaan datang kembali saat terjadi penertiban pedagang kaki lima oleh Satpol PP. Gerobak dagangan saya diangkut,” katanya.
Namun, musibah tak dapat dihindari. ”Baru sebentar menikmati rezeki, musibah datang kembali. Tempat tinggal saya di Pejompongan terbakar,” sebutnya.
Yang bisa diselamatkan Bustaman hanya istri, anak dan gerobak dagangnya. “Saya lalu tinggal di rumah salah satu suplier bahan masakan saya,” tutur Bustaman.
Ia mulai menyewa kios ketika Pasar Bendungan Hilir dibangun pada 1974 dengan harga sewa Rp15.000. “Tahun 1975 saya membuka cabang di Roxy Mas,” katanya.
Kini Bustaman sudah bisa menikmat hasil jerih payahnya. Rumah Makan Padang Sederhana miliknya sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia hingga Malaysia, baik atas nama sendiri maupun investor melalui sistem waralaba.
Ada cerita unik di balik nama “Rumah Makan Padang Sederhana” yang menjadi merek dagang Bustaman. “Nama itu saya ambil dari restoran di Jambi tempat saya dahulu bekerja sebagai pencuci piring. “Istri yang menyarankan karena memang namanya mudah diingat,” ceritanya.
Sekarang ini, banyak sekali rumah makan padang yang mengatasnamakan Sederhana. Rumah Makan Padang Sederhana milik Bustaman adalah yang memiliki logo rumah Gadang dengan tulisan SA. (as)
Teh Kempot Racikan Victor Diburu Pembeli
Usia muda bukanlah penghalang seseorang untuk menjadi pengusaha sukses. Victor Giovan Raihan asal kota Malang yang masih berusia 18 tahun telah membuktikannya. Dengan mengusung nama “Teh Kempot”, bisnis minuman teh cepat saji yang dirintisnya mendapat respon positif dari masyarakat sekitar.
Berawal dari keisengan Victor meracik teh yang dicampur dengan susu fermentasi, ternyata hasilnya diminati banyak orang. Lalu kenapa Victor tertarik dengan bisnis minuman cepat saji? Karena menurutnya, perkembangan bisnis tersebut sangat bagus dan memiliki prospek jangka panjang. Saat haus, orang pasti akan mencari minuman yang enak, serta mempunyai rasa yang berbeda dengan minuman lainnya. Selain itu, dilihat dari cara pembuatan, Victor mengatakan tidak terlalu sulit untuk membuat aneka minuman cepat saji. Bahan-bahannya mudah didapat, dan yang paling penting keuntungan yang diraih cukup besar.
Untuk memulai bisnisnya, Victor mengeluarkan modal 3 juta yang berasal dari pinjaman orang tua. Pertama Victor membuka 1 outlet, lalu berkembang dan setelah mempunyai beberapa outlet, Victor bisa mengantongi penghasilan paling sedikit Rp 2 juta per bulan dari 1 outlet miliknya. “Biasanya kalau sedang ramai, 1 outlet bisa lebih dari 2jt,” kata Victor. Awal mula kata “Kempot” yaitu ketika Victor terinspirasi dari cara orang saat minum teh menggunakan sedotan. Bila sedang haus, konsumen akan menyedot sampai pipinya kempot.
Victor sampai saat ini telah membuka 10 outlet yang diurusnya sendiri, dan 17 outlet lain yang merupakan hasil kerjasama dengan mitranya. Victor menjelaskan, jika ada yang tertarik untuk bekerja sama di bisnisnya, cukup membayar Rp 3,5 juta, sudah menerima 1 gerobak ditambah 100 cup gelas kemasan dan alat masak. Sementara ini, mitra kerjasamanya paling banyak di Malang, dua mitra yang lain di Palembang dan Jakarta.
Orang tua Victor mendukung penuh apa yang dilakukan putranya. Mereka percaya, dengan membuka usaha sendiri, dapat melatih Victor menjadi pribadi mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Victor mengaku, dalam sehari jumlah daun teh kering yang dibutuhkan untuk produksi mencapai 20 kg, kurang lebih sekitar 70 gelas, dan menghabiskan 4 kg gula sehari per outlet.
Harapan Victor, di tahun depan bisa membuka outlet baru supaya keuntungan yang dihasilkan dari bisnisnya bertambah. Mengenai masalah dana untuk memperluas bisnis teh cepat sajinya, Victor enggan meminjam bank atau kredit, karena menurut dia dengan modal pribadi dan pinjaman orangtua sudah lebih dari cukup. (bn)
Teratur Kelola Keuangan, Samsul Kuasai Pasar Tempe di Medan
Beberapa tahun lalu, usaha tempe yang dijalankan Samsul seperti jalan di tempat. Seluruh penjualan harian dimasukkan seluruhnya ke kantongnya.
Untuk pembelian bahan baku dan membayar karyawan, diambil begitu saja dari uang itu tanpa pencatatan yang jelas. Akibatnya, dia tidak bisa mengontrol berapa besar perkembangan omzet usahanya.
Namun, setelah mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan, dia merasa ada sesuatu yang salah dalam menjalankan bisnisnya selama ini. Ya, dia selalu mencampur uang hasil penjualan tempe. Psdahal, ada banyak pos yang harus mendapatkan alokasi dana khusus, seperti modal, membayar karyawan, dan laba bersih.
Untuk itu, dia akhirnya membagi uang penjualannya itu ke dalam beberapa amplop yang memudahkan dia melihat seluruh alokasi dana. Ini memang sebuah tindakan kecil. Akan tetapi, dari sesuatu yang kecil itu, kedisiplinan mengantarkannya menjadi pengusaha tempe yang sukses di Medan, Sumatra Utara.
“Saya sampai saat ini omzet mencapai Rp 15 juta per hari, ini jauh lebih besar ketimbang dulu saat saya masih belum memiliki pola pengelolaan keuangan yang baik,” jelasnya seperti dilansir Kompas.com.
Hingga hari ini, Samsul selalu mencatatkan kenaikan omzet usaha setiap harinya, karena permintaan juga terus membesar. Ini pula yang mendorongnya membangun satu lagi unit pabrik tempe di wilayah Medan. (as)
Omzet Puluhan Juta dari Bisnis Penganan Pedas
Di Bandung, tersebar tempat-tempat yang menyajikan kekhasan dalam kuliner, termasuk tempat khusus menjual penganan pedas. Adalah Toserda alias Toko Serba Lada, buah pikiran Willyhono, yang menyediakan makanan tersebut.
Willy, sapaan Willyhono, menceritakan bahwa bisnisnya ini adalah menjajakan makanan pedas dari berbagai jenis. Usahanya itu merupakan kelanjutan dari kegiatan awalnya, yaitu menjajakan produk penganan pedas.
"Dulu, saya menjual satu produk saja, yaitu bawang pedas. Namanya, Bawang Pedas Balalada buatan teman saya," kata dia.
Setelah memasarkan keripik itu, pria kelahiran 1983 ini melihat respons pasar terhadap penganan pedas sangat bagus. Dari sinilah, tercetus pemikiran untuk mendirikan usaha menjual makanan pedas.
"Kalau saya lihat, respons konsumen bagus. Rata-rata orang Indonesia suka makanan pedas," katanya seperti dilansir VIVAnews.
Willy kemudian memutuskan untuk mengembangkan usaha itu dan memperbanyak jenis dagangannya. Namun, dia tidak serta-merta membuat toko online.
Pertama, dia membangun toko di Jalan Padjajaran No. 4, Bandung. Modal awalnya sebesar Rp10-15 juta. Untuk nama toko yang bangunannya seluas 25 meter persegi itu, dia sengaja memilih akronim dan ada unsur bahasa Sunda.
"Orang-orang tahunya Toserba, toko serba ada. Tapi, saya pilih Toserda, toko serba lada. Kata 'lada' dalam bahasa Sunda, kan, artinya pedas," kata dia.
Lalu, dia juga mulai memperbanyak jenis dagangannya, mulai dari bawang goreng pedas, keripik, kerupuk, abon, sambal, rendang, bahkan cokelat. Produk dagangannya memiliki tingkat kepedasan, mulai level satu untuk pedas hingga level enam untuk sangat pedas.
Penganan itu pun beraneka macam ukurannya, mulai 100 gram, 300 gram, dan 400 gram. Harganya juga bervariasi, mulai dari Rp5.000 hingga Rp59.000.
"Yang Rp5.000 itu keripik, beratnya 100 gram dan Rp59.000 adalah rendang kering," kata pria lulusan Universitas Parahyangan, Bandung itu.
Barang dagangan itu, Willy memperolehnya dari para produsen makanan home industry yang ada di daerah Bandung dan sekitarnya.
"Tapi, kalau untuk abon, saya juga mendapatkannya dari Cirebon, Medan, Jakarta, dan Surabaya. Untuk cokelat, saya mengambil produk Chocodot dari Garut dan Monggo dari Yogyakarta dan harganya berkisar Rp10-15 ribu per kemasan," kata dia.
Ada dua cara, tambah Willy, untuk memasok barang dagangan ke tokonya, yaitu dengan beli putus dan titip dagangan. Kalau sistem beli putus, dia membeli sendiri barang untuk dijual, sedangkan sistem titip barang, produsen penganan itu yang menitipkan dagangannya ke tokonya. Cara titip barang ini yang paling banyak digunakan para supplier Toserda.
"Saya hanya mengambil marjin keuntungan 20 persen dari dagangan mereka," kata dia.
Tapi, tidak semua penganan pedas yang bisa masuk ke daftar jualannya. Pria ini mensurvei dahulu calon dagangannya. "Saya lihat-lihat dulu dagangannya, mana yang paling laris. Sambal biasanya habis 10 kemasan per minggu, sedangkan basreng (bakso goreng) habis 100-200 bungkus per minggu," ujarnya.
Namun, usahanya ini tidak selamanya manis. Willy mengaku sempat mengalami pasang surut berjualan penganan pedas. Saat keripik pedas sedang booming, dia mampu meraup omzet Rp60-70 juta per bulan.
Karena sudah banyak pesaingnya, kini Toserda hanya bisa mendapat omzet setengahnya. "Kalau sekarang omzetnya sebesar Rp30 juta per bulan," kata sarjana matematika ini.
Kini, ia memiliki lima pekerja, termasuk dirinya, yaitu dua orang pegawai offline, satu orang karyawan online, dan satu orang programmer. (as)
Aqua Mendunia di Tangan Tirto Utomo
Merk Aqua sangat dikenal masyarakat di seluruh daerah dari perkotaan sampai dengan pedesaan. Aqua menjadi pelopor air minum dalam kemasan di Indonesia, yang merupakan ide dari Tirto Utomo, pendiri Aqua. Tirto Utomo atau Kwa Sien Biauw dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah 8 Maret 1930.
Karena di Wonosobo tidak ada SMP maka Tirto Utomo harus bersekolah di Magelang yang berjarak sekitar 60 kilometer. Perjalanan itu ditempuh dengan sepeda. Kehidupannya tergolong lumayan karena orangtuanya pengusaha susu sapi an pedagang ternak. Lulus SMP Tirto Utomo melanjutkan sekolah ke HBS (sekolah setingkat SMA di zaman Hindia Belanda) di Semarang dan kemudian di Malang. Masa remaja Tirto Utomo dihabiskan di Malang dan di situlah dia bertemu dengan Lisa / Kienke (Kwee Gwat Kien). Seperti lazimnya sekolah Katholik pada waktu itu maka sekolah untuk murid laki-laki dan murid perempuan dipisah. Mereka berdua hanya sempat bertemu di lapangan sekolah.
Selama dua tahun kuliah di Universitas Gajah Mada yang ada di Surabaya, dia mengisi waktu luang dengan menjadi wartawan Jawa Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan. Namun, karena kuliah tidak menentu, akhirnya Tirto pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta sambil kuliah ia bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna. Pada tahun 1954 selepas SMA di Malang, Lisa masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sambil kuliah, Lisa bekerja di British American Tobacco (BAT Indonesia). Maret 19555 Lisa gagal mengikuti ujian kenaikan tingkat dan kemudian memutuskan berhenti kuliah. Saat Lisa mengajar bahasa Inggris di Batu Ceper, menjadi guru SD Regina Pacis, dan menerima jasa penerjemahan dan pengetikan, Lisa dilamar Tirto dan mereka menikah pada 21 Desember 1957 di Malang.
Musibah datang pada tahun 1959. Tirto diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po. Akibatnya sumber keuangan keluarga menjadi tidak jelas. Namun, akibat peristiwa itulah Tirto Utomo memiliki kemauan yang bulat untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI. Sementara Lisa berperan sebagai pencari nafkah yaitu dengan mengajar dan membuka usaha catering, Tirto belajar dan juga ikut membantu istrinya. Pada Oktober 1960 Tirto Utomo berhak menyandang gelar Sarjana Hukum. Setelah lulus, Tirto Utomo melamar ke Permina (Perusahaan Minyak Nasional) yang merupakan cikal bakal Pertamina. Setelah diterima, ia ditempatkan di Pangkalan Brandan. Di sana, keperluan mandi masih menggunakan air sungai. Berkat ketekunannya, Tirto Utomo akhirnya menanjak karirnya sehingga diberi kepercayaan sebagai ujung tombak pemasaran minyak.
Kedudukan Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal dan Foreign Marketing membuat sebagian besar hidupnya berada di luar negeri. Pada usia 48 tahun, Tirto Utomo memilih pensiun dini untuk menangani beberapa perusahaan pribadinya yakni AQUA, PT. Baja Putih, dan restoran Oasis. Aqua didirikan dengan modal bersama adik iparnya Slamet Utomo sebesar Rp 150 juta. Mereka mendirikan pabrik di Bekasi tahun 1973 dengan nama PT. Golden Mississippi dan merek produksi Aqua. Karyawan mula-mula berjumlah 38 orang. Mereka menggali sumur di pabrik pertama yang dibangun di atas tanah seluas 7.110 meter persegi di Bekasi. Setelah bekerja keras lebih dari setahun, produk pertama Aqua diluncurkan pada 1 Oktober 1974.
Bagaimana nama Aqua ini terbentuk? Desainer Singapura yang merancang logonya mengusulkan nama Aqua. Kata Eulindra Lim, sang desainer tersebut, Aqua mudah diucapkan dan mudah diingat selain bermakna ‘air’. Aqua sebenarnya bukan nama asing baginya. Dia sendiri sering memakai nama samaran ‘A Kwa’ yang bunyinya mirip dengan ‘Aqua’ semasa masih menjadi pemimpin redaksi harian Sin Po dan majalah
Pantja Warna di akhir tahun 1950. Nama A Kwa sendiri diambil dari nama aslinya yaitu Kwa Sien Biauw sedangkan nama Tirto Utomo mulai dipakainya pertengahan tahun 1960-an yang tidak sengaja diambil yang berarti ‘air yang utama’.
“Dulu bukan main sulitnya. Dikasih saja orang tidak mau. ‘Untuk apa minum air mentah’, itulah celaan yang tak jarang kami terima,” ujar Willy Sidharta. Saat itu minuman rignan berkabonasi seperti Cola Cola, Sprite, 7 Up, dan Green Spot sedang naik daun sehingga gagasan menjual air putih tanpa warna dan rasa, bisa dianggap sebagai gagasan gila.
Hingga 1978 penjualan Aqua tersendat-sendat. Tidak heran bila Tirto Utomo sendiri mengakui hampir menutup perusahaannya karena sekitar lima tahun berdiri tetapi titik impas belum juga dapat diraih. Ia tidak tahan harus menombok terus menerus. Tetapi selalu ada rezeki bagi orang yang ulet dan tabah. Tirto Utomo bersama manajemennya akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas dengan menaikkan harga jual hampir tiga kali lipat. Waktu itu ide ini bisa dibilang juga bisa dibilang ide gila. Masa, ketika dalam kesulitan keuangan, bukannya menurunkan harga agar para pelanggan berminat tapi malah menaikkan harga. Tirto sendiri sudah menyiapkan antisipasi sekiranya upaya itu bakal menyebabkan penurunan omset. Namun, pasar bicara lain. Omset bukannya menurun malahan terdongkrak naik. Agaknya orang menilai harga tinggi sama dengan mutu tinggi. Aqua pun mulai melayani segmen yang tertarik untuk berlangganan.
Pada tahun 1982, Aqua mengganti bahan baku (air) yang semula berasal dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri (self-flowing spring) karena dianggap mengandung komposisi mineral alami yang kaya nutrisi seperti kalsium, magnesium, potasium, zat besi, dan sodium. Salah satu pelanggannya yaitu kontraktor pembangunan jalan tol Jagorawi, Hyundai. Dari para insinyur Korea Selatan itu, kebiasaan minum air mineral pun menular kepada rekan kerja pribumi mereka. Melalui penularan semacam itulah akhirnya air minum dalam kemaasan diterima di masyarakat. Penampilan Tirto sehari-hari sangat sederhana, ramah, murah senyum, namun cerdas berpikir. Dalam hubungannya dengan bawahan, ia menganut gaya manajemen kekeluargaan dan mempercayai kemampuan karyawannya melalui sejumlah pengembangan dan pelatihan manajemen. Pada waktu itu biaya pengemasan dapat mencapai 65% dari biaya produksi. Melihat itu, Tirto Utomo kemudian menyetujui ide Willy untuk menggabungkan pabrik botol dengan bisnis air mineralnya yang bernama PT. Tirta Graha Parama.
Saat ini, keluarga Tirto Utomo bukan lagi pemegang saham mayoritas karena sejak tahun 1996 perusahaan makanan asal Prancis Danone menguasai saham mayoritas, sedangkan saham keluarga ‘tinggal’ 26 persen. Meskipun demikian, Willy Sidharta, yang merupakan anak kandung dari Tirto Utomo sendiri, memegang jabatan direktur dalam perusahaan tersebut. Pilihan bergabung dengan perusahaan multinasional diakui membuat langkah Aqua semakin lincah. Ketatnya persaingan industri air mineral menuntut upaya-upaya agresif. Sejak itu, terjadi perubahan besar dalam manajemen Aqua. Dalam produksi, Aqua juga melonjak tajam, dari 1 miliar liter sekarang mencapai 3.5 miliar liter. Aqua menguasai 40% pangsa pasar air mineral di dalam negeri.
“Banyak orang mengira bahwa memproduksi air kemasan adalah hal yang mudah. Mereka pikir yang dilakukan hanyalah memasukkan air kran ke dalam botol. Sebetulnya, tantangannya adalah membuat air yang terbaik, mengemasnya dalam botol yang baik dan menyampaikannya ke konsumen.” Kata Tirto Utomo.
Tirto Utomo memang sudah wafat pada tahun 1994 namun prestasi Aqua sebagai produsen air minum dengan merek tunggal terbesar di dunia tetap dipertahankan sampai sekarang. (bn/dari berbagai sumber)
Berkat Roti John, Hafizh Raih Sukses di Usia Muda
Usia yang masih relatif muda tak jadi penghalang Hafizh Suradiharja, pemilik CV Roti John Bali Fresh, terjun di dunia usaha. Meski berulang kali harus menghadapi kepahitan, karena usahanya bangkrut, Hafizh tak patah arang. Mental yang kuat pun mengantarkannya untuk menggapai sukses sebagai pengusaha pada usia 25 tahun.
Hafizh muda memang akrab dengan dunia bisnis. Pada 2006 silam, ketika masih berstatus mahasiswa, pria kelahiran Jakarta ini menjajal peruntungannya dengan membuka sekolah disc jockey (DJ). Ia berani membuka jasa pendidikan peramu musik karena menilai profesi itu sedang naik daun.
Hafizh pun melengkapi fasilitas sekolah DJ itu dengan peralatan yang bagus. Sayang, usaha ini hanya bertahan setahun. Ia menyadari, sekolah DJ miliknya tak punya nilai tambah di tengah menjamurnya sekolah DJ saat itu. “Saya tidak punya koneksi. Selain itu, banyak sekolah yang menawarkan biaya murah,” ujar dia seperti dilansir Kontan.co.id.
Dari usaha pendidikan, Hafizh beralih menjadi pengusaha kuliner. Mengikuti tren yang sedang berkembang, Hafizh, yang kala itu masih menjadi mahasiswa Universitas Islam Jakarta, membuka kedai sop buah. Kedai ini sempat berkembang hingga memiliki tiga cabang. Lagi-lagi karena tak kuat bersaing, usaha sop buah Hafizh merugi dan bangkrut.
Tak putus asa, pria yang lahir di Jakarta, 29 Januari 1988, ini kembali menjajal usaha yang baru pada tahun 2008. Tapi, kali ini ia tak sendiri. Hafizh menjalin kerja sama dengan pengusaha asal Singapura untuk membuka biro perjalanan PT Apex Indonusa Prima. “Saya menyetor sekitar 30 persen dari total modal,” ujar dia. Hafizh mengaku, ia memperoleh dana untuk modal usaha itu dari pinjaman bank atas nama orang tuanya.
Setelah berjalan enam bulan, perjalanan bisnis kongsian itu tidak mulus. Perbedaan usia yang terlampau jauh membuat visi kedua partner bisnis tak sejalan lagi. “Partner saya yang jauh lebih tua memiliki pola pikir yang sangat hati-hati, berbeda dengan saya yang terlampau bersemangat saat itu,” kenang Hafizh. Ia pun menarik lagi modal yang telah ditanamkan.
Namun kongsi itu tidak sia-sia. Sang partner yang berasal Negeri Singa diakui Hafizh mendatangkan inspirasi membuka gerai roti john. “Partner dari Singapura itu selalu membawakan roti john ketika dia pulang,” kata Hafizh. Di sana, roti john sering disantap sebagai pengganti sarapan pagi.
Namun, di bisnis keempatnya ini Hafizh tak gegabah. Ketika usaha ketiga tak berjalan mulus, ia melakukan beberapa evaluasi atas kiprahnya. “Saya menyadari, selalu berada di zona merah yang sudah banyak pelakunya,” ujarnya. Dari situ, ia mendapat pencerahan, jika ingin memulai usaha lagi, harus menciptakan ide baru.
Lantas, ketika ia melihat belum ada orang yang berbisnis roti john di Indonesia, Hafizh pun segera menggarap bidang baru ini. Apalagi, dia melihat ada bisnis bakeri di sekitar rumahnya yang mampu bertahan lama. Pada 2009, pria lajang ini kembali mengajukan pinjaman bank, sebesar Rp 30 juta untuk memesan roti ke pabrik, sekaligus merenovasi sebuah kafe.
Hafizh mendapatkan resep roti john ini dari temannya. Ia pun tak mengubah baik bentuk, tekstur dan rasa untuk mempertahan keasliannya. “Tekstur roti ini keras dengan satu pilihan rasa yakni telur dan bawang,” ujar dia.
Pada bulan pertama, pembeli banyak berdatangan. Namun, menginjak bulan kedua, ketiga, pengunjung justru semakin sepi. Tak mau pengalaman bangkrutnya berulang, Hafizh segera mencari cari tahu kesalahan bisnis barunya.
Ia pun menemukan banyak kekeliruan, seperti penetapan harga Rp 12.000 yang kurang ramah di kantong. Tekstur roti yang terlalu keras sampai tidak adanya varian rasa.
Sejak itu, Hafizh berpikir mencari jalan keluar. “Saya harus bikin roti yang sesuai dengan lidah orang Indonesia, enak, murah, dan bikin kenyang,” jelasnya. Ia pun mencari chef dari hotel berbintang untuk membuat roti yang sesuai dengan hasil evaluasinya.
Usaha terakhir ini pun sukses. Dengan 12 varian rasa, pembeli kembali menyesaki gerai roti john. Dengan modal tambahan, Hafizh juga mengembangkan konsep both untuk memperluas pemasaran. Kini, sudah ada 50 gerai roti john.
Hafizh pun mampu tersenyum lebar dan mencecap manisnya berbisnis. Bisnis keempatnya ini sudah menyerap 35 tenaga kerja yang memproduksi sekitar 500 hingga 1.000 roti per hari. Dalam sebulan, finalis wirausaha Mandiri 2011 ini menangguk omzet hingga ratusan juta rupiah.
Tak puas setelah menuai sukses di usaha roti john, Hafizh juga sedang mematangkan usaha yang tak jauh berbeda, yaitu minuman. “Kami akan membuat minuman khusus kopi,” ujar dia.
Pengalaman mengembangkan usaha roti john diterapkan Hafizh saat merancang bisnis terbarunya. Ia merangkul peramu kopi yang berpengalaman untuk merancang aneka menu kopi spesial di kedainya nanti. (as)
Popeyes Indonesia, Alternatif Bagi Pemburu Kuliner
Bagi Benny Hadisurjo (33), bisnis restoran boleh dibilang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bagaimana tidak, ia tumbuh di lingkungan keluarga pemilik restoran. Kala orang tuanya--pasangan Hadisurjo yang asli Kudus--hijrah ke Ibu Kota 28 tahun lalu, mereka membuka restoran dan apotek. Rumah keluarga ini yang kecil dibagi dua, yakni untuk tempat tinggal dan restoran, sedangkan sebelah rumah dimanfaatkan untuk apotek.
"Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, saya kebagian tugas menyapu dan membukakan pintu bagi tamu restoran. Semua itu saya lakukan di luar waktu sekolah. Rasanya senang sekali, (saya) bisa membantu mama, meskipun hanya tugas ringan," kenang ayah dua orang anak ini.
Dalam pandangan keluarga Hadisurjo, pengembangan bisnis restoran bisa berjalan selaras dengan hobi mereka, yakni jalan- jalan dan makan. Kiat sederhana ini, apabila disertai kegigihan, maka bisa berhasil. Hal itu terbukti dari perkembangan Satay House. Mulanya restoran keluarga ini berukuran kecil, tetapi kemudian berkembang dengan banyak pelanggan.
"Sambil jalan-jalan, biasanya kami mencari makanan atau restoran yang menjadi 'trade mark' di suatu daerah. Walaupun letaknya terpencil, kalau kami dengar di tempat tersebut ada makanan enak, pasti kami memburunya. Sesampai di rumah, kami diskusikan dan coba untuk memecahkan rahasia bumbu dan teknik olahannya. Asyik sekali, lho," papar insinyur mesin ini.
Kendati tidak berlatar belakang kuliner, keluarga Hadisurjo bisa memiliki berbagai restoran di sejumlah lokasi dengan menu-menu yang cocok di lidah warga Jakarta. Sebut saja, restoran Satay House (kini Sate Khas Senayan), Tam Nak Thai, Kintamani, dan restoran Seafood Senayan. Selain itu, mereka juga memiliki optik dan apotek yang kondang dengan nama Optik Melawai dan Apotik Melawai.
Menilik kesuksesan orang tuanya itu, Benny lantas menekuni pula bisnis restoran. Namun, ia tidak mau asal ikut- ikutan berbisnis restoran dan membuat sesuatu yang sama lagi. Ia pun memikirkan sebuah restoran yang dapat menjadi alternatif bagi para avonturir makanan.
Menurut Benny, penggemar makan mencari makanan bukan saja yang enak dan sehat, melainkan juga harus ada unsur bertualang dalam rasa. "Artinya, sejak masih dimasak sampai disajikan, (dalam makanan) itu harus ditemukan sesuatu yang khas," katanya.
Di samping itu, ia juga membekali dirinya dengan riset pasar. Hasil riset menunjukkan, kalangan profesional muda, remaja, dan keluarga di kota Metropolitan dan sekitarnya memilih fast-food sebagai bagian dari gaya hidup.
Mendirikan Restoran Popeyes Chicken and Seafood
Oleh karena itu, peraih gelar master of business administration (MBA) dari Boston College (AS) ini berpasangan dengan Arianti Darmawan membuka restoran fast-food (siap saji). Pilihan pun jatuh kepada restoran waralaba asal negara Paman Sam, Popeyes Chicken & Seafood. Melalui PT Popindo Selera Prima, jadilah restoran pertama beroperasi mulai Mei tahun lalu.
"Saya ingin Popeyes menjadi alternatif bagi petualang makanan." Di restoran berlogo tokoh kartun Popeye The Sailorman ini para petualang makanan bisa menemukan cita rasa masakan Cajun khas New Orleans.
Resep masakan Cajun sendiri berkembang 200 tahun lalu di New Orleans, yang dijuluki "The Queen of Mississippi". Masakan ini hasil percampuran menu masakan Perancis, Spanyol, dan komunitas kulit hitam asal Afrika, yang pada masa lalu dikapalkan ke daratan AS sebagai budak belian. Pendatang asal Perancis, yang kemudian bahu-membahu mendirikan kota New Orleans, memadukan menu masakan sehari-hari mereka dengan menggunakan bumbu yang tersedia di daerah tersebut.
Di tangan Benny, Popeyes berkembang cepat. Dalam setahun saja gerai restorannya sudah menjadi sepuluh restoran yang tersebar di wilayah Jabotabek dan satu di Surabaya. Targetnya, hingga penghujung tahun ini, sampai 20 restoran yang dibuka. Investasi yang dikeluarkan oleh Benny untuk satu restoran berkisar Rp500 juta hingga Rp1 miliar.
Menurut Benny, jumlah pengunjung di tiap restorannya pada hari-hari biasa terbilang lumayan, yaitu sekitar 500 orang per hari. Jumlah tersebut menjadi dua kali lipat pada akhir pekan dan hari-hari libur. "Saya tidak bisa mengutarakan secara mendetail berapa omzet kami karena per restoran tidaklah sama. Bisalah dikira-kira sendiri dari harga makanan di gerai kami, mulai dari Rp3.000 sampai dengan Rp16.000."
Kendatipun di negara asalnya peringkat Popeyes setingkat di bawah Kentucky Fried Chicken, tetapi di Indonesia masih butuh waktu untuk mengejar peringkat itu. Karena itu, kata Benny, dirinya sudah bertekad membentuk image (citra) positif bagi Popeyes. Ia menyadari, lidah para pencinta fast-food di negeri ini belumlah akrab dengan menu-menu pilihan Popeyes. "Harapan saya sih, Popeyes bisa menciptakan brand image (citra merek) tersendiri di masyarakat kita." Yang jelas, pertumbuhan restoran Popeyes di Indonesia lumayan pesat. Menilik pertumbuhan restorannya, tampaknya Popeyes memiliki peluang untuk dapat bersaing dengan resto- resto fast-food lain yang lebih dulu ada. Kiat Benny agar Popeyes cepat melekat di hati konsumen bukan lain adalah inovasi menu yang tiada henti. Inilah yang oleh Benny disebut sebagai perbedaan konsep konvensional dan fashionable. Yang dimaksud dengan konvensional, papar Benny, ialah bahwa menunya standar. Adapun fashionable, maksudnya, di setiap negara akan selalu ada menu khas negara bersangkutan.
Lebih lanjut Benny menjelaskan, ada perbedaan konsep yang mendasar di benua Amerika, Eropa, dan Asia. Meskipun di negara- negara maju fast-food sudah menjadi bagian dari gaya hidup, konsep fast-food sendiri lebih konvensional ketimbang di negara-negara berkembang yang lebih fashionable. Dengan pertimbangan fashionable inilah maka selera konsumen akan fast-food senantiasa berkembang. "Berubah dalam waktu singkat seperti model baju."
Jadi, tegas Benny, restoran fast-food akan selalu tumbuh dengan menu baru yang disesuaikan dengan selera para petualang makanan. "Tentunya, dengan makin banyak pilihan, lebih memudahkan para petualang untuk mencocokkan pilihan-pilihan tersebut dengan selera mereka."
"Di Indonesia sangat beragam jenis masakannya. Ditambah lagi, ini termasuk negara maritim. Karenanya, menu seafood (hidangan laut) nantinya lebih ditonjolkan," kata Benny. Sementara ini, tambahnya, menu seafood di restoran miliknya baru berbahan baku udang dan ikan.
"Nanti akan ada menu yang terbuat dari cumi-cumi. Menu cumi-cumi ini barulah yang pertama ada di antara seluruh restoran Popeyes di dunia. Tentu saja, tetap dengan bumbu Cajun yang bernuansa Indonesia." Ia pun berharap, menu cumi- cumi itu bisa menjadi semacam trade mark Popeyes Indonesia.
Terlepas dari itu, menurut Benny, makanan yang tersaji di Popeyes diolah dengan cara berbeda dengan restoran lain yang sama-sama menerapkan quick service. Seluruh makanan diolah sesuai tradisi masakan Cajun yang terbuat dari bahan-bahan segar, bumbu-bumbu pilihan yang halal, didedikasikan untuk mencapai kelezatan.
Kalau boleh dibilang keunggulannya, Popeyes menyediakan masakan sesuai lidah orang Indonesia. Pedas dan penuh bumbu. Selain itu, sebagaimana khas restoran cepat saji, penyajian makanan yang tergolong amat segera. Tidak lupa, restoran Popeyes disuasanakan sangat jazzy sehingga klop dengan selera baik kawula muda maupun kaum tua.
Dengan perkataan lain, ungkap Benny, Popeyes bukan saja menjual menu, tetapi juga suasana, kualitas, dan pelayanan. "Tanpa kesemuanya itu, tidak mungkinlah Popeyes mampu bersaing dengan restoran sejenis yang pertumbuhannya sangat pesat. (bn)
Abon Ikan, Primadona Baru Bisnis Kuliner
Berbekal ketekunan dan semangat mencoba hal baru, Johan Yuniarto mampu mendapat omzet puluhan juta rupiah per bulan dari bisnis abon ikan yang kurang terkenal dibandingkan abon sejenis dari daging.
"Saya mendapat keuntungan sebesar satu kwintal per bulan, yaitu sebesar Rp 25 juta," kata Johan, dikutip dari vivanews.com.
Pemilik usaha "Rumah Abon" ini mengatakan bahwa bisnis itu digeluti mulai 2009, dengan modal sekitar Rp16 juta. Modal itu berasal dari uangnya sendiri untuk membeli ikan, rempah-rempah, dan peralatan seperti mesin pemutar (spinner), dan penggorengan.
"Saya mengeluarkan Rp5 juta untuk bahan baku dan Rp11 juta guna peralatan," kata dia.
Namun, Johan mengaku bahwa penjualannya meningkat saat bulan Ramadan. Sayangnya, dirinya tidak mengatakan angka tepatnya. "Kalau bulan Puasa, penjualannya jadi tambah banyak. Abon ini bisa digunakan untuk sahur kalau tidak sempat memasak," ujarnya.
Dia mengatakan, menjual abon ikan per kemasan seharga Rp25 ribu dan setiap kemasan seberat 100 gram. Harga itu berlaku untuk abon ikan darat dan ikan laut. Johan pun menciptakan abon tersebut dalam beberapa rasa. "Ada rasa gurih, manis, dan pedas," kata dia.
Produk tersebut, ia jual di sekitar rumahnya yang berada di kawasan Bandung, Jawa Barat. "Rumah Abon juga menembus daerah Jakarta, Bogor, dan Surabaya. Bahkan, luar negeri seperti Malaysia dan Arab Saudi.
Johan membuka toko khusus abon ikan di Jalan Keadilan II, No. 33, Riung, Bandung Permai. Apabila ingin menjadi reseller, ia membatasi pembelian minimal sebanyak tiga lusin dan tidak hanya berbatas pada satu produk. Itu juga berlaku untuk pembeli di luar Bandung.
Abon ikan kurang dikenal
Johan mengaku bahwa masyarakat kurang mengenal abon ikan daripada abon daging. Jadi, dia berinisiatif untuk membuat penganan ini. "Orang-orang lebih mengenal abon daging," kata dia.
Lalu, pria ini menciptakan berbagai jenis abon ikan, baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Ikan air tawar yang digunakan seperti ikan gurame, ikan nila, belut, dan ikan lele.
Sementara itu, ikan laut yang dia gunakan adalah ikan tuna, ikan kakap, dan ikan kerapu. Ikan-ikan tersebut dia beli dari pengepul dan jumlahnya tidak tetap, bergantung pada cuaca.
"Saya mendapat ikan air tawar dari daerah Bandung, sedangkan untuk mendapat ikan laut dari daerah pesisir, seperti Pangandaran, Cirebon, dan Indramayu," kata Johan.
Johan menceritakan, sebelum diolah, ikan-ikan tersebut dicuci bersih, dibuang isi perutnya, dan diambil dagingnya saja. Setelah itu, daging-daging tersebut dibumbui sebelum masuk ke wajan berisi minyak panas. "Ya, bumbunya seperti bawang merah dan bawang putih," imbuh dia. (bn)
Budhi Haryanto, Sulap Embun Jadi Rupiah
Pernahkah Anda membayangkan minum air embun? Bagaimana caranya? Pengusaha Budhi Haryanto menemukan teknologi yang memproduksi tetesan embun dalam volume ribuan liter.
Inspirasi bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Bagi Budhi Haryanto, inspirasi tersebut muncul pada akhir Oktober 2001 di Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat (AS). Malam itu udara dingin Negeri Paman Sam seakan mengembuskan ide brilian ke kepala Budhi.
Ketika itu, Budhi yang tinggal dan berbisnis di AS tengah mengobrol santai dengan teman-temannya. Entah siapa yang memulai, obrolan menyentuh tema tentang Timur Tengah, negara kaya minyak namun sedikit sumber air bersih.
Tapi, bukankah Timur Tengah memiliki garis pantai? Bukankah wilayah di sekitar pantai pasti memiliki kelembapan udara karena air laut yang menguap terkena sinar matahari? Bagaimana jika uap air yang bersih dan bebas garam tersebut disedot? Bukankah akan menjadi seperti embun yang bening? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak Budhi saat itu.
Sejurus kemudian, ingatan Budhi melayang menembus ruang dan waktu. Pria asal Solo, Jawa Tengah, tersebut ingat bagaimana orang-orang tua zaman dahulu mengisi air minum ke dalam kendi (semacam teko dari tanah liat), lalu menaruhnya di luar rumah pada malam. Paginya, kendi itu diselimuti embun. Air di dalam kendi tersebut menjadi dingin dan dipercaya memiliki khasiat yang menyehatkan.
Ingatan Budhi ditarik lagi ke sebuah pabrik tekstil miliknya di wilayah Boyolali, Jawa Tengah. Di pabrik itu terdapat alat humidifier yang berfungsi menyemprotkan udara lembap dengan kadar air cukup tinggi agar benang yang ditenun mesin tidak mudah putus.
"Saya lalu berpikir, bagaimana kalau fungsi humidifier dibalik. Bukan menyemprotkan udara lembap, tapi menyedot udara lembap untuk menghasilkan air embun dan udara sejuk. Ini kan konsepnya seperti AC (air conditioner), tapi harus didesain agar menghasilkan air yang cukup banyak dan sehat dikonsumsi," jelasnya seperti dilansir Jawa Pos.
Sejak malam itu, otak Budhi terus bergerak. Ide-ide yang berkelebat itu bagaikan potongan puzzle yang coba dia susun. Namun, pria 62 tahun tersebut memiliki keterbatasan dalam hal kemampuan teknis karena memang tidak punya latar belakang pendidikan di bidang engineering. Kuatnya naluri bisnis membuat dirinya langsung terjun ke dunia usaha setelah lulus SMA. Ide memproduksi embun pun sempat menemui jalan buntu.
Pucuk dicinta ulam tiba. Peribahasa tersebut cocok menggambarkan kondisi Budhi ketika itu. Di tengah kebuntuan gagasannya, tiba-tiba datanglah Mike Morgan, seorang engineer AS, yang tertarik dengan ide produksi embun yang digagas Budhi. Morgan mendengar ide brilian tersebut dari salah seorang rekannya. "Ketika itu, banyak yang terjadi secara kebetulan, seperti sudah diatur oleh Yang di Atas," ungkap pria ramah dan murah senyum tersebut.
Budhi pun langsung berduet dengan Morgan. Ide-ide serta pengalaman lapangan Budhi dipadukan dengan kemampuan teknis Morgan. Sekitar 3,5 tahun kepingan-kepingan ide itu berhasil disatukan. Hasilnya, terciptalah teknologi Systemized Dew Process (SDP) atau proses pembuatan embun secara sistematis.
Cara kerjanya sederhana. Alat tersebut menyedot udara lembap, lalu memisahkan uap air dari partikel kotoran dengan micro particle separator system (MPSS), dan memasukkan uap air ke dalam ruangan bersuhu rendah, sehingga uap air itu berubah menjadi embun.
Menurut Budhi, ide teknologi itu mereplikasi proses alamiah produksi embun. Yakni, adanya air yang menguap atau evaporasi karena pemanasan oleh matahari. Sebagian uap air naik dan menjadi awan, sebagian lainnya tidak sempat naik karena suhu permukaan bumi sudah turun ketika matahari terbenam. Uap air yang tidak sempat naik itulah yang kemudian menjadi embun dan menempel di dedaunan saat pagi.
Teknologi SDP lantas dikemas dalam sebuah alat berbentuk seperti kontainer sepanjang 15 meter. Setelah selesai diproduksi di AS, pada Oktober 2004, alat tersebut dikirim ke Indonesia. Tepatnya ke sebuah pabrik di Gunung Sindur, Bogor. "Indonesia adalah negara tropis. Kelembapan udaranya tinggi. Jadi, sangat prospektif untuk memproduksi embun," ujar Budhi.
Berbagai uji kesehatan pun dilakukan. Menurut dia, berdasar hasil uji praklinis oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, air hasil teknologi temuan Budhi itu bebas dari kandungan mineral anorganik (sodium, garam, klorida); logam berat (timbal, merkuri); serta cemaran pestisida yang mengganggu kesehatan.
Uji praklinis tersebut lantas dilanjutkan dengan uji klinis di RSUD dr Soetomo Surabaya. Hasilnya memuaskan karena air jernih itu sangat bermanfaat bagi kesehatan. Akhirnya, pada 2008, Budhi merintis bisnis produksi air minum di Indonesia dengan merek dagang Purence. Saat ini kapasitas produksinya mencapai 15 ribu liter per hari. Selain dipasarkan di Indonesia, Purence sudah diekspor ke beberapa negara tetangga. Salah satunya Singapura.
Di Indonesia, daya inovasi Budhi terus berkembang. Dia berpikir, selain embun, teknologi SDP menghasilkan udara dingin, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai penyejuk ruangan (AC).
Budhi berduet dengan Arda R. Lukitobudi, ahli lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) Australia. Duet itu menghasilkan alat yang lebih multifungsi. Jika awalnya alat SDP seukuran kontainer sepanjang 15 meter, alat baru itu hanya seukuran lemari pakaian dua pintu. Alat tersebut dirancang untuk keperluan rumah tangga atau kantor.
"Memang belum dijual di luar. Baru saya aplikasikan di kantor saya. Tapi, dalam waktu dekat masuk tahap produksi secara komersial," tuturnya.
Alat tersebut bisa menghasilkan empat produk sekaligus. Yakni, air embun yang jernih dan tidak terkontaminasi, udara bersih dan dingin semacam pengganti AC, dryer atau udara kering yang bisa digunakan untuk mengeringkan pakaian, serta air panas untuk mandi. Semua itu bisa didapat dari satu sistem dengan listrik satu kali yang jauh lebih hemat.
Berapa listrik yang dibutuhkan? "Untuk alat yang saya pasang ini sekitar 6.000 watt. Memang cukup besar. Tapi, kalau untuk kebutuhan rumah tangga, listriknya bisa lebih kecil. Alat ini sudah saya uji selama hampir dua tahun dan tidak ada masalah," katanya.
Arda R. Lukitobudi menambahkan, secara komersial, alat tersebut nanti lebih difungsikan sebagai pengganti AC, sehingga tidak hanya menyasar konsumen rumah tangga, tapi juga perkantoran dan pabrik. "Bedanya, sistem pendingin ini menghasilkan air embun yang sehat untuk dikonsumsi, sehingga bisa menjadi air minum karyawan," jelasnya.
Bukankah AC juga menghasilkan tetesan air" Menurut Arda, air tetesan AC tidak sehat dikonsumsi karena mengandung unsur logam yang berbahaya bagi tubuh. AC tidak didesain untuk memproduksi air minum, sehingga udara dinginnya bersentuhan dengan komponen logam mesin AC.
Budhi dan Arda lantas mengajak Jawa Pos ke lantai dua bangunan yang juga difungsikan sebagai rumah tinggal itu. Di dapur, terdapat galon air minum berbentuk bulat berukuran 11,8 liter. Sebuah pipa terhubung ke lubang bagian atas galon tersebut. Dia lantas memencet tombol di dekat galon dan air pun mengalir dari pipa ke dalam galon. Alirannya kecil seperti keran air yang hanya dibuka sepertiga atau seperempat. Itulah air embun hasil teknologi SDP.
"Kalau alat ini dinyalakan 24 jam, kira-kira bisa menghasilkan 40 liter embun sehari," ujarnya.
Budhi menyebutkan, jika digunakan oleh gedung-gedung perkantoran atau bangunan komersial seperti pusat perbelanjaan dan hotel, alat tersebut mampu menghasilkan ribuan liter embun yang bisa menjadi sumber air minum alternatif.
"Eksploitasi air tanah besar-besaran sebagai sumber air minum bisa berdampak kurang baik bagi kondisi lingkungan. Misalnya, bisa mengakibatkan penurunan permukaan tanah," katanya.
Berkat inovasi itu, Budhi diganjar beberapa penghargaan bergengsi. Pada 2005, teknologi SDP hasil kreasinya bersama Mike Morgan merebut Innovation Award dalam ajang AHR Expo di Orlando, Florida, AS. Lalu, pada 2010, alat yang sama meraih Piala Rintisan Teknologi yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebelumnya, pada 2008, Purence berhasil menjadi "Air Minum Exclusive" dalam ajang Clinton Global Initiative (CGI) Asia di Hongkong yang digagas lembaga yang didirikan mantan Presiden AS Bill Clinton.
"Ini foto saya dengan Bill Clinton di acara CGI ketika itu," ujar Budhi lantas tersenyum sambil menunjuk foto di dinding kantornya. (as)
Setelah Jatuh Bangun, Bobby Temukan Kejayaan di Kebab Kings
Bobby Hendrawan Farizky adalah seorang wirausahawan muda yang merupakan pemilik dari usaha “Kebab Kings” yang cukup populer di Indonesia. Kesuksesan pria kelahiran Surabaya, 17 Mei 1983 ini tidak datang begitu saja. Pengalaman jatuh bangun telah dirasakannya, ia sempat beberapa kali mencoba berbisnis ikan louhan, membuka toko handphone, hingga berdagang es teller sebelum akhirnya ia menemukan jalannya, Bobby memutuskan untuk mendirikan outlet kebab ditahun 2006 dan bisnis itulah yang pada akhirnya membawanya ke puncak kesuksesan.
Langkah Bobby untuk menjadikan kebab sebagai ‘mesin uangnya‘ bisa dikatakan sebagai keputusan yang berani, bagaimana tidak, Kebab yang merupakan makanan khas timur tengah saat itu belum diketahui banyak orang, sehingga cukup sulit memasarkannya. Tapi, Bobby tetap yakin usahanya itu bakal sukses. Berbekal jiwa wirausaha yang ia miliki, Bobby mencoba menerapkan berbagai strategi bisnis yang ada. Hasilnya sangat memuaskan. Dari waktu ke waktu usahanya mengalami peningkatan omset yang membuat Bobby memutuskan untuk mewaralabakan kebab kingsnya itu.
Bobby membebankan biaya investasi sebesar 35 juta rupiah bagi siapa saja yang berminat membuka outlet kebab kings. Bobby juga menjanjikan keuntungan bagi para mitranya, dengan jaminan uang kembali apabila mitranya itu tidak mampu balik modal dalam tempo setengah dari jangka waktu kerja sama. Saat ini, lebih dari 300 outlet telah tersebar di puluhan kota di Indonesia dengan omset yang beragam. Mulai dari 15 juta hingga 60 juta bisa didapat mitra-mitranya per bulan.
Pria berkacamata ini mencoba peruntungan di bisnis kuliner lain dengan membuka gerai bernama “Mexicones”. Outlet tersebut didirikan pada tahun 2009 dan menjual berbagai kuliner asal Meksiko, seperi cizen, burrito, burger blackpepper, dan taco. Bobby menyadari, jenis makanan yang ia jual tersebut juga masih asing bagi masyarakat Indonesia, untuk itulah ia memodifikasi sedemikian rupa sehingga cita rasa makanan-makanan tersebut bisa diterima di semua kalangan. Sama seperti usaha pertamanya, pria berusia 30 tahun ini mengfranchisekan gerai Mexicones ini. Saat ini outlet Mexicones sudah terwaralaba lebih dari 20 outlet dan booth. Sementara Bobby sendiri memiliki 2 outlet.
Tak terlena dan berhenti disitu, Satu lagi bisnis yang ia rambah adalah bisnis pempek yang ia dirikan tak lama setelah Mexicones. Tapi, bukan berarti ia selalu sukses. Begitu banyaknya usaha pempek yang ada di Indonesia, “Pempek Royal” hanya mampu difranchisekan di 10 gerai. Bahkan beberapa gerai waralaba harus tutup. Meski demikian, Bobby tetaplah pria muda yang sukses ber-wirausaha karena dengan usia yang relatif muda, ia telah memiliki beberapa usaha yang sangat potensial dan akan terus berkembang.
“Tak menyerah bila menemui satu kegagalan dan tak gampang terbuai dengan sebuah keberhasilan”, itulah kunci yang mengantarkan Bobby menikmati kesuksesannya, sebuah semangat wirausaha yang patut dijadikan contoh dan inspirasi bagi kita semua. (bn)
Muhdi Pasarkan Keripik Singkong Hingga ke Mancanegara

Dulu Jualan di Jalan, Kini Punya Swalayan
Berawal dari jualan di pinggir jalan dengan modal Rp 300.000, Riza Rizki Adhiyaksa akhirnya bisa memiliki swalayan dan omzet tertinggi yang pernah ia raih, yakni Rp 750 juta dalam sebulan.
Kesuksesannya ini menjadi inspirasi hingga ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai talkshow mengenai peluang usaha di industri kreatif.
Nanutz Mania menjadi brand usaha makanan ringan yang dirintis Riza pada Maret 2011. Ayah dua orang anak ini mengatakan dirinya terinspirasi dari lagu boyband Smash berjudul Cinta Cenat Cenut. "Produk awal saya kan sebenarnya nachos. Saya sempat bingung cari nama. Waktu saya sedang menggoreng, dengar radio tetangga sedang diputar lagu Smash yang Cinta Cenat Cenut. Lalu saya satukan, Nachos Cenat Cenut menjadi Nanutz," ujar Riza seperti dilansir Tribun.
Produk Nanutz Mania ini beragam, mulai dari mi nyere sebagai andalan, pangsit goreng atau nachos, keripik sosis, keripik kulit ayam, keripik bayem yang diberi nama Mariyu Bayem dan belasan produk lainnya. Mi nyere itu sendiri memiliki 18 varian rasa.
"Kami berusaha agar brand ini tetap fun dan aman. Artinya, ketika sedang booming keripik singkong, kami membuat mi nyere. Makanan tradisional khas Sunda ini oleh Nanutz dimodernisasikan dengan berbagai varian rasa hingga bentuk dan packaging. Kami juga jual mi nyere yang warna-warni. Kami pelopor mi nyere modern di Indonesia," kata Riza.
Dalam memasarkan produknya, Riza fokus pada penjualan melalui agen dan online. Swalayan di Jalan Babakan Ciparay 243 pun baru dibuka pada Maret 2013 sebagai tempat penjualan offline. Di daerah Mekarwangi pun ada gerai Nanutz Mania. Saat ini, ia sudah bermitra dengan 75 orang agen y di 28 provinsi, hingga ke luar negeri, seperti Jepang, Australia dan Belanda.
"Nanutz ini jual offline baru sekarang. Dari awal berdiri jualnya melalui online. Saya sampai korbankan akun Facebook saya yang sudah ada 5.000 teman. Facebook saya diganti fotonya tiba-tiba dengan foto Nanutz, sampai orang pada kaget. Itu strategi murah dan efektif. Punya uang 2.500, tinggal ke warnet saja," ujarnya sambil tertawa.
Setiap harinya, dapur produksi Riza yang ditopang 28 pekerja bisa mencapai 1.400-2.000 produk, itu pun yang sudah melalui tahap quality control. Ia mengatakan pernah menggunakan mesin untuk produksi lebih banyak, namun hasilnya tak seenak bikinan tangan. Ia pun kembali mengandalkan dapurnya untuk hasil sempurna. Hingga hari ini, Riza pun masih berkutat di dapur setiap pagi untuk membuat bumbu. Ia mengatakan tak ingin seperti pengusaha pada umumnya, yang meninggalkan dapur ketika sudah merasa sukses.
Perjalanan Riza selama dua tahun merintis usaha keripik cukup sulit. Sebelum mengangkat merek Nanutz Mania, ia awalnya berjualan di pinggir jalan hingga sering kehujanan dan diusir Satpol PP. Tak habis akal, ia pun ikut berjualan di ajang car free day dan pasar malam, hingga punya teknik jitu. "Teknik saya, saat Ma Icih lagi ikut pameran, saya ikutan. Ma Icih di dalam booth, saya di luar tenda di tempat parkir. Nggak ikut bayar booth," ungkapnya. Baginya, kesuksesan produk Ma Icih menjadi inspirasi dan panutan. (as)